BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang.
Bimbingan
dan konseling merupakan bagian integral dari pendidikan yang bertujuan untuk
membantu seseorang menjadi manusia yang dewasa dan mandiri, yang memahami
dirinya sendiri secara utuh dengan kelebihan dan kekurangannya (Walgito, 2010:
9). Layanan bimbingan dan konseling
diberikan oleh konselor/guru pembimbing. Guru pembimbing/konselor memiliki
tugas, tanggung jawab, dan wewenang dalam pelaksanaan layanan bimbingan dan
konseling terhadap siswa di sekolah.
Tugas guru pembimbing/konselor terkait dengan pengembangan diri siswa yang sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, minat, dan kepribadian yang dimiliki siswa.Dengan pemberian layanan bimbingan yang tepat dan kontinyu diharapkan siswa mampu memahami kelebihan dan kekurangannya, mandiri dan mampu mengoptimalkan potensi, bakat, dan minat yang dimiliki.
Tugas guru pembimbing/konselor terkait dengan pengembangan diri siswa yang sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, minat, dan kepribadian yang dimiliki siswa.Dengan pemberian layanan bimbingan yang tepat dan kontinyu diharapkan siswa mampu memahami kelebihan dan kekurangannya, mandiri dan mampu mengoptimalkan potensi, bakat, dan minat yang dimiliki.
Guru pembimbing/konselor memiliki tugas, tanggung jawab, dan wewenang dalam pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling terhadap siswa di sekolah, dalam hal ini berarti bimbingan dan konseling merupakan pekerjaan pelayanan yang profesional, yang menguraikan pemahaman, penanganan dan penyikapan tentang keadaan seseorang yang meliputi unsur kognisi, afeksi, dan psikomotorik. Pekerjaan ini sangat penting sekali dalam dunia pendidikan, agar tercipta keserasian atau keharmonisan antara guru dengan siswa.
Sesuai dengan makna uraian tentang pemahaman, penanganan dan penyikapan (yang meliputi unsur-unsur kognisi, afeksi dan psikomotorik) konselor terhadap kasus, pekerjaan profesional itu harus dilaksanakan dengan mengikuti kaidah-kaidah yang menjamin efisien dan efektivitas proses dan lain-lainnya. Kaidah-kaidah tersebut didasarkan atas tuntutan keilmuan layanan di satu segi (antara lain bahwa layanan harus didasarkan atas data dan tingkat perkembangan konseli), dan tuntutan optimalisasi proses penyelanggaraan layanan di segi lain, yaitu antara lain suasana konseling ditandai oleh adanya kehangatan, pemahaman, penerimaan, kebebasan dan keterbukaan, serta berbagai sumber daya yang perlu diaktifkan (Prayitno dan Amti, 2013: 115).
Keberhasilan pelaksanaan bimbingan dan konseling itu sendiri sangat ditentukan oleh kaidah-kaidah yang berlaku atau dalam kata lain disebut “asas”.
Asas-asas bimbingan dan konseling adalah merupakan rukun yang harus dipegang teguh dan dikuasai oleh seorang guru pembimbing/konselor dalam menjalankan pelayanan atau menurut Prayitno dan Amti (2013: 115) asas-asas bimbingan dan konseling merupakan ketentuan-ketentuan yang harus ditetapkan dalam penyelenggaraan pelayanan itu. Asas-asas tersebut adalah sebagai jiwa dan nafas dari seluruh kehidupan layanan bimbingan dan konseling. Apabila asas-asas itu tidak dijalankan dengan baik, maka penyelenggaraan bimbingan dan konseling akanberlawanan dengan tujuan bimbingan dan konseling, bahkan akan merugikan orang-orang yang terlibat di dalam pelayanan, serta profesi bimbingan dan konseling itu sendiri.
Berdasarkan
penjelasan di atas, kami sebagai calon guru pembimbing/ konselor merasa perlu
memahami asas-asas bimbingan dan konseling untuk kemudian dapat diaplikasikan
di lapangan agar aktivitas dalam layanan bimbingan dan konseling yang nantinya
akan kami tempuh tidak terjebak dalam berbagai bentuk penyimpangan yang dapat
merugikan semua pihak, khususnya pihak para penerima jasa layanan (konseli),
maka pemahaman dan penguasaan tentang asas-asas bimbingan dan konseling oleh
para konselor tidak bisa ditawar-tawar lagi dan menjadi mutlak adanya.
B. Rumusan Masalah.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah :
1.Apa yang dimaksud dengan asas bimbingan dan konseling?
2.Apa saja asas-asas bimbingan dan konseling ?
C. Tujuan Makalah.
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka makalah ini bertujuan :
1.Untuk mengetahui definisi dari asas bimbingan dan konseling.
2. Untuk memahami asas-asas bimbingan dan konseling.
B. Rumusan Masalah.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah :
1.Apa yang dimaksud dengan asas bimbingan dan konseling?
2.Apa saja asas-asas bimbingan dan konseling ?
C. Tujuan Makalah.
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka makalah ini bertujuan :
1.Untuk mengetahui definisi dari asas bimbingan dan konseling.
2. Untuk memahami asas-asas bimbingan dan konseling.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Asas Bimbingan dan Konseling.
Kamus besar bahasa Indonesia mengartikan asas sebagai “dasar”. Tetapi asas dalam pengertian disini adalah bukan dasar tetapi “rukun”.
Jadi, asas bimbingan dan konseling berarti “rukun yang harus dipegang teguh dan dikuasai oleh seorang guru pembimbing atau konselor dalam menjalankan pelayanan atau kegiatan bimbingan dan konseling (Nasari, 2015)”. Setiap kegiatan selalu ada asas yang dijadikan pegangan dalam melaksanakan kegiatan tersebut. Demikian pula dalam layanan/ kegiatan bimbingan dan konseling, ada asas yang dijadikan pegangan dalam menjalankan kegiatan itu.
B. Asas-Asas
Bimbingan dan Konseling.
1. Asas Kerahasiaan.
Asas yang menuntut dirahasiakannya segenap data dan keterangan peserta didik (konseli) yang menjadi sasaran layanan, yaitu data atau keterangan yang tidak boleh dan tidak layak diketahui orang lain. Dalam hal ini, guru pembimbing/konselor berkewajiban penuh memelihara dan menjaga semua data dan keterangan itu sehingga kerahasiaan benar-benar terjamin (Yusuf dan Nurihsan, 2014: 22).
Asas kerahasiaan ini merupakan asas kunci dalam usaha bimbingan dan konseling. Jika asas ini benar-benar dilaksanakan, maka penyelenggara atau pemberi bimbingan akan mendapat kepercayaan dari semua pihak, terutama penerima bimbingan yaitu konseli, sehingga mereka mau memanfaatkan jasa bimbingan dan konseling dengan sebaik-baiknya. Sebaliknya, jika konselor tidak dapat memegang asas kerahasiaan dengan baik, maka hilanglah kepercayaan konseli, akibatnya pelayanan bimbingan tidak mendapat tempat di hati konseli dan para calon konseli.
Mereka takut meminta bantuan sebab khawatir masalah mereka akan menjadi bahan gunjingan. Apabila hal terakhir itu terjadi, maka tamatlah pelayanan bimbingan dan konseling ditangan konselor yang tidak dapat dipercaya oleh konseli itu (Prayitno dan Amti, 2013: 115).
Seorang konselor berkewajiban untuk menjaga rahasia data tersebut, baik data yang diperoleh dari hasil wawancara atau konseling, karena hubungan menolong dalam bimbingan dan konseling hanya dapat berlangsung dengan baik jika data informasi yang dipercayakan kepada konselor/ guru pembimbing dapat dijamin kerahasiaannya. Dengan adanya asas kerahasiaan ini dapat menimbulkan rasa aman dalam diri konseli (Nasari, 2015).
Berdasarkan apayang dikemukakan di atas, maka yang terjadi saat pelayanan bimbingan dan konseling yang dilakukan oleh konselor dan konseli baik itu isi pembicaraan atau pun sikap konseli, kerahasiaanya perlu dihargai dan dijaga dengan baik. Demikian pula catatan-catatan yang dibuat sewaktu atau pun sesudah wawancara atau konseling perlu disimpan dengan baik dan kerahasiaanya dijaga dengan cermat oleh konselor. Sebagaimana telah diketahui bahwa dalam kegiatan bimbingan dan koseling, kadang-kadang konseli harus menyampaikan hal-hal yang sangat pribadi/rahasia kepada konselor.
Oleh karena itu konselor harus menjaga kerahasiaan data yang diperoleh dari konselinya. Contoh : ada seorang konseli yang menceritakan kepada konselor bahwa konseli itu memiliki penyakit HIV yang didapatnya sejak lama, maka seorang konselor harus bisa menjaga kerahasian tersebut agar penyakit konseli itu tidak di ketahui oleh orang banyak.
2. Asas Kesukarelaan.
Asas yang menghendaki adanya kesukaan dan kerelaan peserta didik (konseli) menjalani layanan/kegiatan yang diperlukan baginya. Dalam hal ini guru pembimbing (konselor) berkewajiban membina dan mengembangkan kesukarelaan tersebut (Yusuf dan Nurihsan, 2014: 22).
Proses bimbingan dan konseling harus berlangsung atas dasar kesukarelaan, baik dari pihak konseli maupun dari pihak konselor. Konseli diharapkan secara sukarela dan rela tanpa ragu-ragu ataupun merasa terpaksa menyampaikan masalah yang dihadapinya serta mengungkapkan segenap fakta, data, dan seluk-beluk berkenaan dengan masalahnya itu kepada konselor. Konselor hendaknya dapat memberikan bantuan dengan tidak terpaksa, atau dengan kata lain konselor memberikan bantuan dengan ikhlas (Prayitno dan Amti, 2013: 116).
Telah dikemukakan bahwa bimbingan merupakan proses membantu individu. Membantu disini mengandung arti bahwa bimbingan bukan merupakan suatu paksaan, akan tetapi merupakan suatu binaan. Oleh karena itu, dalam kegiatan bimbingan dan konseling diperlukan adanya kerjasama yang demokratis antara konselor/guru pembimbing dengan konselinya. Kerjasama akan terjalin bilamana konseli dapat dengan suka rela menceritakan serta menjelaskan masalah yang dialaminya kepada konselor (Nasari, 2015). Contoh : konseli sakit hati karena dikirim oleh wakasek kesiswaan ke ruang BK, dalam hal ini konseli masih dalam keadaan terpaksa, dan sebisa mungkin sebelum proses konseling konseli ini harus sukarela dulu mau di konseling, tidak boleh terpaksa.
3. Asas Keterbukaan.
Asas yang menghendaki agar peserta didik (konseli) yang menjadi sasaran layanan/kegiatan bersifat terbuka dan tidak berpura-pura, baik dalam memberikan keterangan tentang dirinya sendiri maupun dalam menerima berbagai informasi dan materi dari luar yang berguna bagi pengembangan dirinya. Dalam hal ini guru pembimbing berkewajiban mengembangkan keterbukaan peserta didik (konseli).
Keterbukaan ini berkaitan dengan terselenggaranya asas kerahasiaan dan adanya kesukarelaan pada diri peserta didik yang menjadi sasaran layanan/kegiatan.Agar peserta didik dapat terbuka, guru pembimbing/ konselor terlebih dahulu harus bersikap terbuka dan tidak berpura-pura (Yusuf dan Nurihsan, 2014: 22).
Asas keterbukaan merupakan asas yang penting bagi konselor/guru pembimbing, karena hubungan tatap muka antara konselor dan konseli merupakan pertemuan batin. Adanya keterbukaan ini dapat ditumbuhkan kecenderungan pada konseli untuk membuka dirinya, untuk membuka kedok hidupnya yang menjadi penghalang bagi perkembangan psikisnya. Konselor yang sukses adalah konselor yang bisa memudahkan konseli untuk membuka dirinya dan berusaha memahami lebih jauh tentang dirinya sendiri.
Truax dan Carkhuff (dalam Nasari, 2015) menyimpulkan bahwa ada hubungan yang erat antara keterbukaan konselor dan kemampuan konseli membuka diri (self exploration). Keterbukaan ini bukan hanya sekadar bersedia menerima saran-saran dari luar, lebih dari itu diharapkan masing-masing pihak yang bersangkutan bersedia membuka diri untuk kepentingan pemecahan masalah. Individu yang membutuhkan bimbingan diharapkan dapat berbicara sejujur mungkin dan berterus terang tentang dirinya sendiri sehingga dengan keterbukaan ini penelaahan serta pengkajian berbagai kekuatan dan kelemahan konseli dapat dilaksanakan (Prayitno dan Amti, 2013: 116).
Keterusterangan dan kejujuran konseli akan terjadi jika konseli tidak lagi mempersoalkan asas kerahasiaan dan kesukarelaan ; maksudnya, konseli betul-betul telah mempercayai konselornya lebih jauh, keterbukaan akan semakin berkembang apabila konseli tahu bahwa konselornya terbuka. Keterbukaan di sini di tinjau dari dua arah. Dari pihak konseli diharapkan mau membuka diri sehingga apa yang ada pada dirinya dapat di ketahui oleh orang lain, dan keduanya mau membuka diri dalam arti mau menerima saran-saran dan masukan lainya dari pihak luar. Dari pihak konselor, keterbukaan terwujud dengan kesediaan konselor menjawab pertanyaan-pertanyaan konseli dan mengungkapkan diri konselor sendiri jika hal itu memang dikehendaki oleh konseli (Prayitno dan Amti, 2013: 116).
Contoh : ada konseli yang memiliki sifat tertutup, sebagai konselor kita harus dapat mengubah konseli untuk berbicara secara terbuka dan tidak berpura-pura dalam menceritakan masalah pribadinya sendiri, sehingga konseli dapat berbicara jujur dan merasa nyaman dalam menyampaikan masalahnya.
4. Asas Kegiatan.
Asas yang menghendaki agar peserta didik (konseli) yang menjadi sasaran layanan dapat berpartisipasi aktif dalam penyelenggaraan layanan/ kegiatan bimbingan. Dalam hal ini guru pembimbing/konselor perlu mendorong dan memotivasi peserta didik untuk aktif dalam setiap layanan/kegiatan bimbingan dan konseling yang diberikan kepadanya (Yusuf dan Nurihsan, 2014: 22).
Menurut Prayitno dan Amti (2013: 117) usaha bimbingan dan konseling tidak akan memberikan buah yang berarti bila konseli tidak melakukan sendiri kegiatan dalam mencapai tujuan bimbingan dan konseling, karena dalam proses pelayanan bimbingan dan konseling terkadang konselor memberikan beberapa tugas dan kegiatan pada konselinya. Hasil usaha bimbingan dan konseling tidak akan tercapai dengan sendirinya, melainkan harus dengan kerja keras dari konseli sendiri. Konselor hendaklah membangkitkan semangat konseli sehingga ia mampu dan mau melaksanakan kegiatan yang diperlukan dalam penyelesaian masalah yang menjadi pokok pembicaraan dalam konseling.
Asas ini merujuk pada pola konseling “multidimensional” yang tidak hanya mengandalkan transaksi verbal antara konseli dan konselor. Dalam penyelenggaraannya, yaitu konseli aktif menjalani proses konseling dan aktif pula melaksanakan/menerapkan hasil-hasil konseling (Prayitno dan Amti 2013: 117).
Contoh : seorang konselor harus bisa membuat suatu program kegiatan seperti ospek maupun MOS (siswa baru) agar konseli/peserta didik dapat mengenali lingkungan yang baru serta mampu untuk menyesuaikan dirinya dengan lingkungan yang baru.
5. Asas Kemandirian.
Salah satu tujuan pemberian layanan bimbingan dan konseling adalah agar konselor berusaha menghidupkan kemandirian di dalam diri konseli.Agar dapat tumbuh sikap kemandirian tersebut, maka konselor harus memberikan respon yang cermat terhadap konseli atas keluhan-keluhan yang diungkapkan.
Seluruh isi dan proses konseling harus sesuai dengan norma-norma yang berlaku. Demikian pula prosedur, teknik dan peralatan (instrumen) yang dipakai tidak menyimpang dari norma-norma yang berlaku (Tohirin, 2009:93). Ditilik dari permasalahan konseli, barangkali pada awalnya ada materi bimbingan dan konseling yang tidak bersesuaian dengan norma (misalnya konseli mengalami masalah melanggar norma-norma tertentu), namun justru dengan pelayanan bimbingan dan konseling tingkah yang melanggar norma itu diarahkan kepada yang lebih bersesuaian dengan norma (Prayitno dan Amti, 2013: 119).
Tetapi harus diingat bahwa konselor tidak boleh memaksakan nilai atau norma yang dianutnya itu kepada konselinya, konselor dapat membicarakan secara terbuka dan terus terang segala sesuatu yang menyangkut norma dan nilai-nilai itu, bagaimana berkembangnnya, bagaimana penerimaan masyarakat, apa dan bagaimana akibatnya bila norma dan nilai-nilai itu terus dianut dan lain sebagainya.
Contoh : Jika dilingkungan konseli tidak melarang berboncengan dengan lawan jenis, maka pelayanan bimbingan konseling tidak boleh melarang hal itu.
Usaha bimbingan dan konseling perlu dilakukan asas keahlian secara teratur dan sistematik dengan menggunakan prosedur, teknik dan alat (instrumentasi bimbingan dan konseling) yang memadai. Untuk itu para konselor perlu mendapat latihan secukupnya, sehingga dengan itu akan dapat dicapai keberhasilan usaha pemberian layanan. Pelayanan bimbingan dan konseling adalah pelayanan profesional yang diselenggarakan oleh tenaga-tenaga ahli khusus dididik untuk pekerjaan itu.
Asas keahlian selain mengacu kepada kualifikasi konselor (misalnya pendidikan sarjana bimbingan dan konseling), juga kepada pengalaman. Teori dan praktik bimbingan dan konseling perlu dipadukan.Oleh karena itu, seorang konselor ahli harus benar-benar menguasai teori dan praktik konseling secara baik (Prayitno dan Amti, 2013: 119).
1. Asas Kerahasiaan.
Asas yang menuntut dirahasiakannya segenap data dan keterangan peserta didik (konseli) yang menjadi sasaran layanan, yaitu data atau keterangan yang tidak boleh dan tidak layak diketahui orang lain. Dalam hal ini, guru pembimbing/konselor berkewajiban penuh memelihara dan menjaga semua data dan keterangan itu sehingga kerahasiaan benar-benar terjamin (Yusuf dan Nurihsan, 2014: 22).
Asas kerahasiaan ini merupakan asas kunci dalam usaha bimbingan dan konseling. Jika asas ini benar-benar dilaksanakan, maka penyelenggara atau pemberi bimbingan akan mendapat kepercayaan dari semua pihak, terutama penerima bimbingan yaitu konseli, sehingga mereka mau memanfaatkan jasa bimbingan dan konseling dengan sebaik-baiknya. Sebaliknya, jika konselor tidak dapat memegang asas kerahasiaan dengan baik, maka hilanglah kepercayaan konseli, akibatnya pelayanan bimbingan tidak mendapat tempat di hati konseli dan para calon konseli.
Mereka takut meminta bantuan sebab khawatir masalah mereka akan menjadi bahan gunjingan. Apabila hal terakhir itu terjadi, maka tamatlah pelayanan bimbingan dan konseling ditangan konselor yang tidak dapat dipercaya oleh konseli itu (Prayitno dan Amti, 2013: 115).
Seorang konselor berkewajiban untuk menjaga rahasia data tersebut, baik data yang diperoleh dari hasil wawancara atau konseling, karena hubungan menolong dalam bimbingan dan konseling hanya dapat berlangsung dengan baik jika data informasi yang dipercayakan kepada konselor/ guru pembimbing dapat dijamin kerahasiaannya. Dengan adanya asas kerahasiaan ini dapat menimbulkan rasa aman dalam diri konseli (Nasari, 2015).
Berdasarkan apayang dikemukakan di atas, maka yang terjadi saat pelayanan bimbingan dan konseling yang dilakukan oleh konselor dan konseli baik itu isi pembicaraan atau pun sikap konseli, kerahasiaanya perlu dihargai dan dijaga dengan baik. Demikian pula catatan-catatan yang dibuat sewaktu atau pun sesudah wawancara atau konseling perlu disimpan dengan baik dan kerahasiaanya dijaga dengan cermat oleh konselor. Sebagaimana telah diketahui bahwa dalam kegiatan bimbingan dan koseling, kadang-kadang konseli harus menyampaikan hal-hal yang sangat pribadi/rahasia kepada konselor.
Oleh karena itu konselor harus menjaga kerahasiaan data yang diperoleh dari konselinya. Contoh : ada seorang konseli yang menceritakan kepada konselor bahwa konseli itu memiliki penyakit HIV yang didapatnya sejak lama, maka seorang konselor harus bisa menjaga kerahasian tersebut agar penyakit konseli itu tidak di ketahui oleh orang banyak.
2. Asas Kesukarelaan.
Asas yang menghendaki adanya kesukaan dan kerelaan peserta didik (konseli) menjalani layanan/kegiatan yang diperlukan baginya. Dalam hal ini guru pembimbing (konselor) berkewajiban membina dan mengembangkan kesukarelaan tersebut (Yusuf dan Nurihsan, 2014: 22).
Proses bimbingan dan konseling harus berlangsung atas dasar kesukarelaan, baik dari pihak konseli maupun dari pihak konselor. Konseli diharapkan secara sukarela dan rela tanpa ragu-ragu ataupun merasa terpaksa menyampaikan masalah yang dihadapinya serta mengungkapkan segenap fakta, data, dan seluk-beluk berkenaan dengan masalahnya itu kepada konselor. Konselor hendaknya dapat memberikan bantuan dengan tidak terpaksa, atau dengan kata lain konselor memberikan bantuan dengan ikhlas (Prayitno dan Amti, 2013: 116).
Telah dikemukakan bahwa bimbingan merupakan proses membantu individu. Membantu disini mengandung arti bahwa bimbingan bukan merupakan suatu paksaan, akan tetapi merupakan suatu binaan. Oleh karena itu, dalam kegiatan bimbingan dan konseling diperlukan adanya kerjasama yang demokratis antara konselor/guru pembimbing dengan konselinya. Kerjasama akan terjalin bilamana konseli dapat dengan suka rela menceritakan serta menjelaskan masalah yang dialaminya kepada konselor (Nasari, 2015). Contoh : konseli sakit hati karena dikirim oleh wakasek kesiswaan ke ruang BK, dalam hal ini konseli masih dalam keadaan terpaksa, dan sebisa mungkin sebelum proses konseling konseli ini harus sukarela dulu mau di konseling, tidak boleh terpaksa.
3. Asas Keterbukaan.
Asas yang menghendaki agar peserta didik (konseli) yang menjadi sasaran layanan/kegiatan bersifat terbuka dan tidak berpura-pura, baik dalam memberikan keterangan tentang dirinya sendiri maupun dalam menerima berbagai informasi dan materi dari luar yang berguna bagi pengembangan dirinya. Dalam hal ini guru pembimbing berkewajiban mengembangkan keterbukaan peserta didik (konseli).
Keterbukaan ini berkaitan dengan terselenggaranya asas kerahasiaan dan adanya kesukarelaan pada diri peserta didik yang menjadi sasaran layanan/kegiatan.Agar peserta didik dapat terbuka, guru pembimbing/ konselor terlebih dahulu harus bersikap terbuka dan tidak berpura-pura (Yusuf dan Nurihsan, 2014: 22).
Asas keterbukaan merupakan asas yang penting bagi konselor/guru pembimbing, karena hubungan tatap muka antara konselor dan konseli merupakan pertemuan batin. Adanya keterbukaan ini dapat ditumbuhkan kecenderungan pada konseli untuk membuka dirinya, untuk membuka kedok hidupnya yang menjadi penghalang bagi perkembangan psikisnya. Konselor yang sukses adalah konselor yang bisa memudahkan konseli untuk membuka dirinya dan berusaha memahami lebih jauh tentang dirinya sendiri.
Truax dan Carkhuff (dalam Nasari, 2015) menyimpulkan bahwa ada hubungan yang erat antara keterbukaan konselor dan kemampuan konseli membuka diri (self exploration). Keterbukaan ini bukan hanya sekadar bersedia menerima saran-saran dari luar, lebih dari itu diharapkan masing-masing pihak yang bersangkutan bersedia membuka diri untuk kepentingan pemecahan masalah. Individu yang membutuhkan bimbingan diharapkan dapat berbicara sejujur mungkin dan berterus terang tentang dirinya sendiri sehingga dengan keterbukaan ini penelaahan serta pengkajian berbagai kekuatan dan kelemahan konseli dapat dilaksanakan (Prayitno dan Amti, 2013: 116).
Keterusterangan dan kejujuran konseli akan terjadi jika konseli tidak lagi mempersoalkan asas kerahasiaan dan kesukarelaan ; maksudnya, konseli betul-betul telah mempercayai konselornya lebih jauh, keterbukaan akan semakin berkembang apabila konseli tahu bahwa konselornya terbuka. Keterbukaan di sini di tinjau dari dua arah. Dari pihak konseli diharapkan mau membuka diri sehingga apa yang ada pada dirinya dapat di ketahui oleh orang lain, dan keduanya mau membuka diri dalam arti mau menerima saran-saran dan masukan lainya dari pihak luar. Dari pihak konselor, keterbukaan terwujud dengan kesediaan konselor menjawab pertanyaan-pertanyaan konseli dan mengungkapkan diri konselor sendiri jika hal itu memang dikehendaki oleh konseli (Prayitno dan Amti, 2013: 116).
Contoh : ada konseli yang memiliki sifat tertutup, sebagai konselor kita harus dapat mengubah konseli untuk berbicara secara terbuka dan tidak berpura-pura dalam menceritakan masalah pribadinya sendiri, sehingga konseli dapat berbicara jujur dan merasa nyaman dalam menyampaikan masalahnya.
4. Asas Kegiatan.
Asas yang menghendaki agar peserta didik (konseli) yang menjadi sasaran layanan dapat berpartisipasi aktif dalam penyelenggaraan layanan/ kegiatan bimbingan. Dalam hal ini guru pembimbing/konselor perlu mendorong dan memotivasi peserta didik untuk aktif dalam setiap layanan/kegiatan bimbingan dan konseling yang diberikan kepadanya (Yusuf dan Nurihsan, 2014: 22).
Menurut Prayitno dan Amti (2013: 117) usaha bimbingan dan konseling tidak akan memberikan buah yang berarti bila konseli tidak melakukan sendiri kegiatan dalam mencapai tujuan bimbingan dan konseling, karena dalam proses pelayanan bimbingan dan konseling terkadang konselor memberikan beberapa tugas dan kegiatan pada konselinya. Hasil usaha bimbingan dan konseling tidak akan tercapai dengan sendirinya, melainkan harus dengan kerja keras dari konseli sendiri. Konselor hendaklah membangkitkan semangat konseli sehingga ia mampu dan mau melaksanakan kegiatan yang diperlukan dalam penyelesaian masalah yang menjadi pokok pembicaraan dalam konseling.
Asas ini merujuk pada pola konseling “multidimensional” yang tidak hanya mengandalkan transaksi verbal antara konseli dan konselor. Dalam penyelenggaraannya, yaitu konseli aktif menjalani proses konseling dan aktif pula melaksanakan/menerapkan hasil-hasil konseling (Prayitno dan Amti 2013: 117).
Contoh : seorang konselor harus bisa membuat suatu program kegiatan seperti ospek maupun MOS (siswa baru) agar konseli/peserta didik dapat mengenali lingkungan yang baru serta mampu untuk menyesuaikan dirinya dengan lingkungan yang baru.
5. Asas Kemandirian.
Asas yang menunjukkan pada tujuan umum
bimbingan dan konseling yaitu peserta didik (konseli) sebagai sasaran
layanan/kegiatan bimbingan dan konseling diharapkan menjadi individu-individu
yang mandiri, dengan ciri-ciri mengenal dan menerima diri sendiri dan
lingkungannya, mampu mengambil keputusan, mengarahkan, serta mewujudkan diri
sendiri. Guru pembimbing (konselor) hendaknya mampu mengarahkan segenap layanan
bimbingan dan konseling yang diselenggarakannya bagi berkembangnya kemandirian
peserta didik (Yusuf dan Nurihsan, 2014: 22).
Salah satu tujuan pemberian layanan bimbingan dan konseling adalah agar konselor berusaha menghidupkan kemandirian di dalam diri konseli.Agar dapat tumbuh sikap kemandirian tersebut, maka konselor harus memberikan respon yang cermat terhadap konseli atas keluhan-keluhan yang diungkapkan.
Individu yang dibimbing
setelah dibantu diharapkan dapat mandiri dengan ciri-ciri pokok mampu (Prayitno
dan Amti, 2013: 117):
a. mengenal diri sendiri
dan lingkungan sebagaimana mestinya;
b. menerima diri sendiri
dan lingkungan secara positif dan dinamis;
c. mengambil keputusan
untuk dan oleh diri sendiri;
d. mengarahkan diri
sesui dengan keputusan itu;
e. mewujudkandiri secara
optimal sesuai dengan potensi, minat dan kemampuan - kemampuan yang dimiliki.
Kemandirian dengan
ciri-ciri umum di atas haruslah disesuikan dengan tingkat perkembangan dan
peranan konseli dalam kehidupan sehari-hari. Kemandiran sebagai hasil konseling
menjadi arah dari keseluruhan proses konseling, dan hal itu didasari baik oleh
konselor maupun konseli (Prayitno dan Amti, 2013: 117).
Contoh : ada seorang konseli yang cacat fisik datang pada konselor dan menceritakan bahwa dia tidak memiliki semangat untuk meneruskan hidupnya, sebagai konselor yang profesional harus bisa menumbuhkan rasa semangat hidup dengan cara memberikan pemahaman agar konseli tersebut mengenal dan menerima dirinya dan lingkungannya, serta mampu mengambil sebuah keputusan agar konseli tersebut menjadi diri yang mandiri.
Contoh : ada seorang konseli yang cacat fisik datang pada konselor dan menceritakan bahwa dia tidak memiliki semangat untuk meneruskan hidupnya, sebagai konselor yang profesional harus bisa menumbuhkan rasa semangat hidup dengan cara memberikan pemahaman agar konseli tersebut mengenal dan menerima dirinya dan lingkungannya, serta mampu mengambil sebuah keputusan agar konseli tersebut menjadi diri yang mandiri.
6. Asas Kekinian.
Asas yang menghendaki agar objek sasaran
layanan bimbingan dan konseling, yakni permasalahan yang dihadapi peserta
didik/konseli dalam kondisi sekarang. Layanan yang berkenaan dengan “masa depan atau kondisi masa lampau pun”
dilihat dampak dan memiliki keterkaitan dengan apa yang ada dan diperbuat
peserta didik (konseli) pada saat sekarang (Yusuf dan Nurihsan, 2014: 23).
Asas kekinian juga mengandung pengertian bahwa konselor tidak boleh menunda-nunda pemberian bantuan. Jika diminta bantuan oleh konseli atau jelas terlihat misalnya ada siswa yang mengalami masalah, maka konselor hendaklah segera memberikan bantuan. Konselor tidak selayaknya menunda-nunda pemberian bantuan dengan berbagai alasan. Konselor harus mendahulukan kepentingan konseli daripada yang lain. Jika konselor benar-benar memiliki alasan yang kuat untuk tidak memberikan bantuannya saat iu juga, maka dia harus dapat mempertanggungjawabkan bahwa penundaan yang dilakukan itu justru untuk kepentingan konseli (Prayitno dan Amti, 2013: 117).
Contoh: misal konseli saat ini mengalami masalah kesulitan belajar, ya masalah konseli sekaranglah yang dibahas (kesulitan belajar) bukan menyelesaikan masalah konseli yang telah lampau.
Asas kekinian juga mengandung pengertian bahwa konselor tidak boleh menunda-nunda pemberian bantuan. Jika diminta bantuan oleh konseli atau jelas terlihat misalnya ada siswa yang mengalami masalah, maka konselor hendaklah segera memberikan bantuan. Konselor tidak selayaknya menunda-nunda pemberian bantuan dengan berbagai alasan. Konselor harus mendahulukan kepentingan konseli daripada yang lain. Jika konselor benar-benar memiliki alasan yang kuat untuk tidak memberikan bantuannya saat iu juga, maka dia harus dapat mempertanggungjawabkan bahwa penundaan yang dilakukan itu justru untuk kepentingan konseli (Prayitno dan Amti, 2013: 117).
Contoh: misal konseli saat ini mengalami masalah kesulitan belajar, ya masalah konseli sekaranglah yang dibahas (kesulitan belajar) bukan menyelesaikan masalah konseli yang telah lampau.
7. Asas Kedinamisan.
Asas yang menghendaki agar isi layanan
terhadap sasaran layanan (peserta didik/konseli) yang sama hendaknya selalu
bergerak maju, tidak monoton dan terus berkembang serta berkelanjutan sesuai
dengan kebutuhan dan tahap perkembangannya dari waktu ke waktu (Yusuf dan
Nurihsan, 2014: 23). Usaha bimbingan
dan konseling yang menghendaki terjadinya perubahan pada konselinya yang
dibimbing.
Contoh : konseli yang mengalami masalah sering tidur saat pelajaran, setelah proses konseling, konseli dapat berubah kearah yang lebih baik (tidak lagi tidur di kelas).
Contoh : konseli yang mengalami masalah sering tidur saat pelajaran, setelah proses konseling, konseli dapat berubah kearah yang lebih baik (tidak lagi tidur di kelas).
Keberhasilan usaha pelayanan BK ditandai
dengan terjadinya perubahan sikap dan tingkah laku konseli kearah yang lebih
baik. Demi mewujudkan terjadinya perubahan sikap dan tingkah laku itu
membutuhkan proses dan waktu tertentu sesuai dengan kedalaman dan kerumitan
masalah yang dihadapi konseli. Konselor dan konseli serta pihak-pihak lain
diminta untuk memberikan kerjasama sepenuhnya agar pelayanan BK yang diberikan
dapat dengan cepat menimbulkan perubahan dalam sikap dan tingkah laku konseli.
Perubahan itu tidaklah sekadar mengulang yang lama yang bersifat menoton, melainkan perubahan yang selalu menuju kesuatu pembaruan, sesuatu yang lebih maju, dinamis sesuai dengan arah perkembangan konseli yang dikehendaki karena asas kedinamisan mengacu pada hal-hal baru yang hendaknya terdapat pada dan menjadi ciri-ciri dari proses konseling dan hasil-hasilnya (Prayitno dan Amti, 2013 : 118). Oleh karena itu, seorang konselor harus mampu mengikuti perkembangan zaman, agar konselor dapat menyelesaikan permasalahan konseli yang semakin hari semakin kompleks, misalnya masalah keluarga broken dan pergaulan bebas dikalangan pemuda.
Perubahan itu tidaklah sekadar mengulang yang lama yang bersifat menoton, melainkan perubahan yang selalu menuju kesuatu pembaruan, sesuatu yang lebih maju, dinamis sesuai dengan arah perkembangan konseli yang dikehendaki karena asas kedinamisan mengacu pada hal-hal baru yang hendaknya terdapat pada dan menjadi ciri-ciri dari proses konseling dan hasil-hasilnya (Prayitno dan Amti, 2013 : 118). Oleh karena itu, seorang konselor harus mampu mengikuti perkembangan zaman, agar konselor dapat menyelesaikan permasalahan konseli yang semakin hari semakin kompleks, misalnya masalah keluarga broken dan pergaulan bebas dikalangan pemuda.
8. Asas Keterpaduan.
Asas yang menghendaki agar berbagai layanan
dan kegiatan bimbingan dan konseling, baik yang dilakukan oleh guru pembimbing
maupun pihak lain, saling menunjang, harmonis dan terpadu.Untuk itu kerja samaantara
guru pembimbing/konselor dan pihak-pihak yang berperan dalam penyelenggaraan
pelayanan bimbingan dan konseling perlu terus dikembangkan. Koordinasi dengan
berbagai pihak yang terkait dengan bimbingan dan konseling menjadi amat penting
dan harus dilaksanakan sebaik-baiknya (Yusuf dan Nurihsan, 2014 : 23).
Contoh : seorang konselor melakuakan kerjasama dengan seorang psikologi seks maupun dokter kandungan, dan mengundang ke sekolah untuk memberikan pemahaman kepada peserta didik di sekolah agar konseli/peserta didik memiliki pengetahuan dan pemahaman yang lebih jelas tentang seks, supaya mereka tidak terjerat dalam pergaulan bebas.
Contoh : seorang konselor melakuakan kerjasama dengan seorang psikologi seks maupun dokter kandungan, dan mengundang ke sekolah untuk memberikan pemahaman kepada peserta didik di sekolah agar konseli/peserta didik memiliki pengetahuan dan pemahaman yang lebih jelas tentang seks, supaya mereka tidak terjerat dalam pergaulan bebas.
Individu memiliki berbagai aspek kepribadian
yang apabila keadaannya tidak seimbang, tidak serasi, dan tidak terpadu justru
akan menimbulkan masalah. Oleh sebab itu, usaha bimbingan dan konseling
hendaknya memadukan berbagai aspek kepribadian konseli. Selain keterpaduan pada
diri konseli, juga harus terpadu dalam isi dan proses layanan yang diberikan.
Tidak boleh aspek layanan yang satu tidak serasi apalagi bertentangan dengan aspek
layanan yang lainnnya (Prayitno dan Amti, 2013: 118).
Konselor harus mampu memadukan lingkungan, keluarga, pergaulan konseli dengan masalah yang konseli hadapi. Aspek keterpaduan juga menuntut konselor memiliki wawasan yang luas tentang perkembangan konseli dan aspek-aspek lingkungan konseli, serta berbagai sumber yang dapat diaktifkan untuk menangani masalah konseli (Tohirin, 2009:92).
Konselor harus mampu memadukan lingkungan, keluarga, pergaulan konseli dengan masalah yang konseli hadapi. Aspek keterpaduan juga menuntut konselor memiliki wawasan yang luas tentang perkembangan konseli dan aspek-aspek lingkungan konseli, serta berbagai sumber yang dapat diaktifkan untuk menangani masalah konseli (Tohirin, 2009:92).
9. Asas Kenormatifan.
Asas yang menghendaki agar segenap layanan
dan kegiatan bimbingan dan konseling didasarkan pada nilai dan norma yang ada, tidak
boleh bertentangan dengan nilai dan norma yang ada, yaitu nilai dan norma
agama, hukum, peraturan, adat istiadat, ilmu pengetahuan dan
kebiasaan-kebiasaan yang berlaku.
Bukanlah layanan atau kegiatan bimbingan dan konseling yang dapat dipertanggungjawabkan apabila isi dan pelaksanaannya tidak berdasarkan nilai dan norma yang dimaksudkan itu. Bahkan lebih jauh lagi, layanan/kegiatan bimbingan dan konseling ini harus dapat meningkatkan kemampuan peserta didik (konseli) dalam memahami, menghayati dan mengamalkan nilai dan norma tersebut (Yusuf dan Nurihsan, 2014: 23).
Bukanlah layanan atau kegiatan bimbingan dan konseling yang dapat dipertanggungjawabkan apabila isi dan pelaksanaannya tidak berdasarkan nilai dan norma yang dimaksudkan itu. Bahkan lebih jauh lagi, layanan/kegiatan bimbingan dan konseling ini harus dapat meningkatkan kemampuan peserta didik (konseli) dalam memahami, menghayati dan mengamalkan nilai dan norma tersebut (Yusuf dan Nurihsan, 2014: 23).
Seluruh isi dan proses konseling harus sesuai dengan norma-norma yang berlaku. Demikian pula prosedur, teknik dan peralatan (instrumen) yang dipakai tidak menyimpang dari norma-norma yang berlaku (Tohirin, 2009:93). Ditilik dari permasalahan konseli, barangkali pada awalnya ada materi bimbingan dan konseling yang tidak bersesuaian dengan norma (misalnya konseli mengalami masalah melanggar norma-norma tertentu), namun justru dengan pelayanan bimbingan dan konseling tingkah yang melanggar norma itu diarahkan kepada yang lebih bersesuaian dengan norma (Prayitno dan Amti, 2013: 119).
Tetapi harus diingat bahwa konselor tidak boleh memaksakan nilai atau norma yang dianutnya itu kepada konselinya, konselor dapat membicarakan secara terbuka dan terus terang segala sesuatu yang menyangkut norma dan nilai-nilai itu, bagaimana berkembangnnya, bagaimana penerimaan masyarakat, apa dan bagaimana akibatnya bila norma dan nilai-nilai itu terus dianut dan lain sebagainya.
Contoh : Jika dilingkungan konseli tidak melarang berboncengan dengan lawan jenis, maka pelayanan bimbingan konseling tidak boleh melarang hal itu.
10. Asas Keahlian.
Asas yang menghendaki agar layanan dan
kegiatan bimbingan dan konseling diselenggarakan atas dasar kaidah-kaidah profesional.
Dalam hal ini, para pelaksana bimbingan dan konseling hendaknya merupakan
tenaga yang benar-benar ahli dalam bimbingan dan konseling. Keprofesionalan
guru pembimbing/ konselor harus terwujud, baik dalam penyelenggaraan
jenis-jenis layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling maupun dalam penegakan
kode etik bimbingan dan konseling (Yusuf dan Nurihsan, 2014: 23).
Contoh : konseling harus ditangani oleh guru BK/ konselor (lulusan S1, pendidikan profesi konselor, S2, S3 bimbingan konseling), atau jika tenaga konselor tidak dapat menyelesaikannya dapat dialihtangankan kepada yang lebih ahli.
Contoh : konseling harus ditangani oleh guru BK/ konselor (lulusan S1, pendidikan profesi konselor, S2, S3 bimbingan konseling), atau jika tenaga konselor tidak dapat menyelesaikannya dapat dialihtangankan kepada yang lebih ahli.
Usaha bimbingan dan konseling perlu dilakukan asas keahlian secara teratur dan sistematik dengan menggunakan prosedur, teknik dan alat (instrumentasi bimbingan dan konseling) yang memadai. Untuk itu para konselor perlu mendapat latihan secukupnya, sehingga dengan itu akan dapat dicapai keberhasilan usaha pemberian layanan. Pelayanan bimbingan dan konseling adalah pelayanan profesional yang diselenggarakan oleh tenaga-tenaga ahli khusus dididik untuk pekerjaan itu.
Asas keahlian selain mengacu kepada kualifikasi konselor (misalnya pendidikan sarjana bimbingan dan konseling), juga kepada pengalaman. Teori dan praktik bimbingan dan konseling perlu dipadukan.Oleh karena itu, seorang konselor ahli harus benar-benar menguasai teori dan praktik konseling secara baik (Prayitno dan Amti, 2013: 119).
11. Asas Alih
Tangan Kasus.
Asas yang menghendaki agar pihak-pihak yang
tidak mampu menyelenggarakan layanan bimbingan dan konseling secara tepat dan
tuntas atas suatu permasalahan peserta didik (konseli) dapat mengalihtangankan permasalahan
itu kepada pihak yang lebih ahli. Guru pembimbing/konselor dapat menerima alih
tangan kasus dari orang tua, guru-guru lain, atau ahli lain. Demikian pula,
sebaliknya guru pembimbing/konselor, dapat mengalihtangankan kasus kepada pihak
yang lebih kompeten, baik yang berada di dalam lembaga sekolah maupun di luar
sekolah (Yusuf dan Nurihsan, 2014: 24). Contoh : seorang peserta didik/ konseli
yang mengalami stres akibat tidak lulus sekolah datang kepada konselor, dalam
konteks ini seorang konselor tidak dapat bertidak sendiri. Seorang konselor
harus melakukan kerjasama dengna pihak yang lebih kompeten dalam kasus ini
seperti membawa konseli tersebut pada seorang psikiater maupun dokter.
Jika konselor sudah mengerahkan segenap
kemampuannya untuk membantu individu, namun individu yang bersangkutan belum
dapat terbantu sebagaimana yang diharapkan, maka konselor dapat mengirim
individu tersebut kepada petugas atau badan yang lebih ahli. Di samping itu
asas ini juga mengisyaratkan bahwa pelayanan bimbingan konseling hanya
menangani masalah-masalah individu sesuai dengan kewenangan petugas yang
bersangkutan, dan setiap masalah ditangani oleh ahli yang berwenang untuk itu. Bimbingan
dan konseling hanya memberikan kepada individu yang pada dasarnya normal dan
bekerja dengan kasus-kasus yang terbebas dari masalah-masalah kriminal ataupun
perdata (Prayitno dan Amti, 2013: 120).
12. Asas Tut
Wuri Handayani.
Asas yang menghendaki agar pelayanan
bimbingan dan konseling secara keseluruhan dapat menciptakan suasana yang mengayomi
(memberikan rasa aman), mengembangkan keteladaan, dan memberikan rangsangan dan
dorongan, serta kesempatan yang seluas-luasnya kepada peserta didik (konseli)
untuk maju. Demikian juga segenap layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling
yang diselenggarakan hendaknya disertai dan sekaligus dapat membangun suasana
pengayoman, keteladanan, dan dorongan seperti itu (Yusuf dan Nurihsan, 2014 :
24). Contoh : seorang konselor harus menjadi guru teladan, dan menyenangkan
agar peserta didik/ konseli tidak takut menceritakan masalahnya kepada konselor
dan mampu mengayomi paserta didik.
Menurut Prayitno dan Amti (2013, 120) asas
ini menunjuk pada suasana umum yang hendaknya tercipta dalam rangka hubungan
keseluruhan antara konselor dan konseli. Lebih-lebih di lingkungan sekolah,
asas ini makin dirasakan keperluannya dan bahkan perlu dilengkapi dengan “ing ngarso sung tolodo (di depan memberi
contoh (teladan yang baik)), ing madya
mangun karso (di tengah memberi bimbingan) dan tut wuri handayani (di belakang memberikan dorongan moral dan
semangat)”. Asas ini menuntut agar pelayanan bimbingan dan konseling tidak
hanya dirasakan pada waktu konseli mengalami masalah dan menghadap kepada
konselor saja, namun di luar hubungan proses bantuan bimbingan dan konseling
pun hendaknya dirasakan adanya dan manfaatnya pelayanan bimbingan dan konseling
itu.
Selain asas-asas tersebut terkait satu sama
lain, segenap asas itu perlu diselenggarakan secara terpadu dan tepat waktu,
yang satu tidak perlu didahulukan atau dikemudiankan dari yang lain. Begitu
pentingnya asas-asas tersebut, sehinggga dapat dikatakan bahwa asas-asas itu
merupakan jiwa dan nafas dari seluruh proses kegiatan pelayanan bimbingan dan
konseling. Apabila asas-asas itu tidak dijalankandengan baik penyelenggaraan
pelayanan bimbingan dan konseling akan tersendat-sendat atau bahkan berhenti
sama sekali (Yusuf dan Nurihsan, 2014: 24).
Kedua belas asas bimbingan dan konseling
tersebut pada dasarnya menegaskan bahwa para konselor merupakan para ahli yang
memiliki kemampuan untuk membimbing konselinya, baik secara ikhlas maupun
profesional sehingga mereka mampu meningkatkan taraf kehidupannya yang lebih
baik, terutama berkaitan dengan persoalan mentalitas konseli, baik dalam
menghadapi lingkungannya maupun orang-orang yang ada di sekelilingnya (Nasari,
2015).
BAB III
KESIMPULAN
A. Simpulan.
Berdasarkan pada pembahasan bab 2, dapat
ditarik kesimpulkan sebagai berikut :
Asas bimbingan dan konseling adalah rukun yang harus dipegang teguh dan dikuasai oleh seorang guru pembimbing atau konselor dalam menjalankan pelayanan atau kegiatan bimbingan dan konseling.
Adapun asas bimbingan dan konseling ada 12 asas yaitu :
1. Asas kerahasiaan, yaitu asas yang menuntut dirahasiakannya segenap data dan keterangan peserta didik (konseli) yang menjadi sasaran layanan, yaitu data atau keterangan yang tidak boleh dan tidak layak diketahui orang lain.
2. Asas kesukarelaan, yaitu asas yang menggambarkan proses bimbingan dan konseling harus berlangsung atas dasar kesukarelaan, baik dari pihak konseli maupun dari pihak konselor.
3. Asas keterbukaan, yaitu asas yang menghendaki agar peserta didik (konseli) yang menjadi sasaran layanan/kegiatan bersifat terbuka dan tidak berpura-pura, baik dalam memberikan keterangan tentang dirinya sendiri maupun dalam menerima berbagai informasi dan materi dari luar yang berguna bagi pengembangan dirinya.
4. Asas kegiatan, yaitu asas yang menghendaki agar peserta didik (konseli) yang menjadi sasaran layanan dapat berpartisipasi aktif dalam penyelenggaraan layanan/ kegiatan bimbingan.
5. Asas kemandirian, yaitu asas yang menunjukkan pada tujuan umum bimbingan dan konseling yaitu peserta didik (konseli) sebagai sasaran layanan/kegiatan bimbingan dan konseling diharapkan menjadi individu-individu yang mandiri.
6. Asas kekinian, yaitu asas yang menghendaki agar objek sasaran layanan bimbingan dan konseling, yakni permasalahan yang dihadapi peserta didik/konseli dalam kondisi sekarang.Asas kekinian juga mengandung pengertian bahwa konselor tidak boleh menunda-nunda pemberian bantuan.
7. Asas kedinamisan, yaitu asas yang menghendaki agar isi layanan terhadap sasaran layanan (peserta didik/ konseli) yang sama hendaknya selalu bergerak maju, tidak monoton dan terus berkembang serta berkelanjutan sesuai dengan kebutuhan dan tahap perkembangannya dari waktu ke waktu.
8. Asas keterpaduan, yaitu asas yang menghendaki agar berbagai layanan dan kegiaan bimbingan dan konseling, baik yang dilakukan oleh guru pembimbing maupun pihak lain, saling menunjang, harmonis dan terpadu.
9. Asas kenormatifan, yaitu asas yang menghendaki agar segenap layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling didasarkan pada nilai dan norma yang ada, tidak boleh bertentangan dengan nilai dan norma yang ada, yaitu nilai dan norma agama, hukum, peraturan, adat istiadat, ilmu pengetahuan dan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku.
10. Asas keahlian, yaitu asas yang menghendaki agar layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling diselenggarakan atas dasar kaidah-kaidah professional.
11. Asas Alih Tangan Kasus, yaitu asas yang menghendaki agar pihak-pihak yang tidak mampu menyelenggarakan layanan bimbingan dan konseling secara tepat dan tuntas atas suatu permasalahan peserta didik (konseli) dapat mengalihtangankan permasalahan itu kepada pihak yang lebih ahli.
12. Asas Tutwuri Handayani, yaitu asas yang menghendaki agar pelayanan bimbingan dan konseling secara keseluruhan dapat menciptakan suasana yang mengayomi (memberikan rasa aman), mengembangkan keteladaan, dan memberikan rangsangan dan dorongan, serta kesempatan yang seluas-luasnya kepada peserta didik (konseli) untuk maju.
Asas bimbingan dan konseling adalah rukun yang harus dipegang teguh dan dikuasai oleh seorang guru pembimbing atau konselor dalam menjalankan pelayanan atau kegiatan bimbingan dan konseling.
Adapun asas bimbingan dan konseling ada 12 asas yaitu :
1. Asas kerahasiaan, yaitu asas yang menuntut dirahasiakannya segenap data dan keterangan peserta didik (konseli) yang menjadi sasaran layanan, yaitu data atau keterangan yang tidak boleh dan tidak layak diketahui orang lain.
2. Asas kesukarelaan, yaitu asas yang menggambarkan proses bimbingan dan konseling harus berlangsung atas dasar kesukarelaan, baik dari pihak konseli maupun dari pihak konselor.
3. Asas keterbukaan, yaitu asas yang menghendaki agar peserta didik (konseli) yang menjadi sasaran layanan/kegiatan bersifat terbuka dan tidak berpura-pura, baik dalam memberikan keterangan tentang dirinya sendiri maupun dalam menerima berbagai informasi dan materi dari luar yang berguna bagi pengembangan dirinya.
4. Asas kegiatan, yaitu asas yang menghendaki agar peserta didik (konseli) yang menjadi sasaran layanan dapat berpartisipasi aktif dalam penyelenggaraan layanan/ kegiatan bimbingan.
5. Asas kemandirian, yaitu asas yang menunjukkan pada tujuan umum bimbingan dan konseling yaitu peserta didik (konseli) sebagai sasaran layanan/kegiatan bimbingan dan konseling diharapkan menjadi individu-individu yang mandiri.
6. Asas kekinian, yaitu asas yang menghendaki agar objek sasaran layanan bimbingan dan konseling, yakni permasalahan yang dihadapi peserta didik/konseli dalam kondisi sekarang.Asas kekinian juga mengandung pengertian bahwa konselor tidak boleh menunda-nunda pemberian bantuan.
7. Asas kedinamisan, yaitu asas yang menghendaki agar isi layanan terhadap sasaran layanan (peserta didik/ konseli) yang sama hendaknya selalu bergerak maju, tidak monoton dan terus berkembang serta berkelanjutan sesuai dengan kebutuhan dan tahap perkembangannya dari waktu ke waktu.
8. Asas keterpaduan, yaitu asas yang menghendaki agar berbagai layanan dan kegiaan bimbingan dan konseling, baik yang dilakukan oleh guru pembimbing maupun pihak lain, saling menunjang, harmonis dan terpadu.
9. Asas kenormatifan, yaitu asas yang menghendaki agar segenap layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling didasarkan pada nilai dan norma yang ada, tidak boleh bertentangan dengan nilai dan norma yang ada, yaitu nilai dan norma agama, hukum, peraturan, adat istiadat, ilmu pengetahuan dan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku.
10. Asas keahlian, yaitu asas yang menghendaki agar layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling diselenggarakan atas dasar kaidah-kaidah professional.
11. Asas Alih Tangan Kasus, yaitu asas yang menghendaki agar pihak-pihak yang tidak mampu menyelenggarakan layanan bimbingan dan konseling secara tepat dan tuntas atas suatu permasalahan peserta didik (konseli) dapat mengalihtangankan permasalahan itu kepada pihak yang lebih ahli.
12. Asas Tutwuri Handayani, yaitu asas yang menghendaki agar pelayanan bimbingan dan konseling secara keseluruhan dapat menciptakan suasana yang mengayomi (memberikan rasa aman), mengembangkan keteladaan, dan memberikan rangsangan dan dorongan, serta kesempatan yang seluas-luasnya kepada peserta didik (konseli) untuk maju.
No comments:
Post a Comment